Activity
Based Budgeting
Melalui
asumsi bahwa semua pendekatan dalam sistem manajemen strategik telah dilakukan,
tulisan ini lebih banyak menyoroti mengenai short-range plan, berupa
anggaran. Agar sejalan dengan paradigma baru, semua aktivitas lebih dititikberatkan
pada customer value strategy atau pelayanan pelanggan (internal dan
eksternal), continuous improvement, dan organizational system dengan
aliran komunikasi yang bersifat bottom-up, continuous improvement,
process way of thinking, team work, dan employee as a
family , maka anggaran yang dianjurkan adalah activity-based budgeting.
Manajemen
harus mempunyai alat yang tepat untuk membantunya dalam menghadapi tuntutan
perubahan-perubahan lingkungan yang dinamis. Alat tersebut harus tidak hanya
membantu untuk mengalokasi secara optimum sumber-sumber untuk mencapai visi,
strategi, dan tujuan organisasi pada saat ini, tetapi harus sebagai jalan
mencapai tujuan akhir organisasi.
Melalui
integrasi aktivitas-aktivitas yang ada terhadap anggaran akan dapat merespon
kebutuhan-kebutuhan yang timbul secara dinamis. Anggaran yang dapat memenuhi
syarat-syarat dinamika perubahan adalah activity-based budgeting (lihat
misalnya, Brimson dan Fraser, 1991; Bunce dan Fraser, 1997; Antos, 1997;
Anonymous, 1998; dan Brimson dan Antos, 1999). Activity-based
budgeting dikenal sebagai pendekatan baru yang menghasilkan proses
manajemen yang berkelanjutan secara efektif. Pendekatan ini dikembangkan oleh
konsultan Coopers and Lybrand Deloitte yang mengkombinasikan praktek-praktek
manajemen terkenal, diturunkan dari priority base budgeting dan total
quality, bersama-sama dengan activity-based cost management
concept (Brimson dan Fraser, 1991).
Activity-based budgeting merupakan
proses penyusunan anggaran yang berfokus pada improvement terhadap
sistem yang digunakan oleh organisasi agar dapat menghasilkan value bagi
pelanggan
(Brimson dan Antos, 1999) dan berfokus pada proses secara integral terhadap
suatu organisasi (McClenahen, 1995), serta merupakan proses perencanaan dan
pengendalian aktivitas-aktivitas yang diharapkan oleh organisasi agar mencapai
anggaran yang cost-effective dan memenuhi workload sesuai dengan
tujuan dan strategi organisasi (Antos,1997).
Activity-based
budgeting dapat
diaplikasikan pada semua organisasi dan fungsi, termasuk untuk perusahaan jasa,
dan fungsi-fungsi overhead, sebaik pada perusahaan manufaktur dimana
konsep ini mula-mula diterapkan (lihat misalnya, Newberry dan Bacon, 1994; dan
Brinson dan Antos, 1998). Adanya tantangan baru mendorong semua organisasi
komersial ataupun non komersial memusatkan perhatiannya pada overall cost.
Historical financial information and budgeting are
inadequate to support the difficult decisions that
need to be made.
Activity-based budgeting have been used with success in other industries as
good as in manufacturing industry (Newberry dan Bacon, 1994: 50).
Activity-based
budgeting didisain
sebagai proses manajemen, operasi pada level aktivitas untuk continuous
improvement pada kinerja dan biaya (Brimson dan Fraser, 1991). Activity-based budgeting
membangun manajemen yang efektif secara berkesinambungan dan mempererat
hubungan antara planning dan budgeting dan sebagai dasar untuk more
effective control. Mengenai activity -based budgeting perlu
dibandingkan lebih dahulu mindset activity-based budgeting dengan mindset
traditional budgeting (dikenal sebagai functional-based budgeting)
agar dapat diperoleh gambaran yang jelas (disarikan dari Brimson dan
Antos, 1999).
Mindset yang
melandasi traditional budgeting (functional budgeting)
Traditional
budgeting dilandasi oleh dua buah mindset.
Controlling mindset. Dalam menjalankan perusahaan,
senior manajer bertanggung jawab terhadap strategi dan tujuan perusahaan
sedangkan bawahan hanya menjalankan aktivitas utama perusahaan. Bawahan tidak
bertanggung jawab terhadap strategi dan tujuan perusahaan, atasan mengendalikan
perusahaan sepenuhnya dan memantau para karyawan untuk memenuhi target yang
telah ditentukan sebelumnya. Anggaran yang ada hanya digunakan sebagai alat
untuk mengkontrol kegiatan para karyawan dalam menjalankan aktivitasnya.
Problem-solving
mindset. Penyusun anggaran tidak mempunyai
informasi tentang sumber daya yang dikonsumsi untuk setiap aktivitas. Hal ini
menyebabkan manajer lebih memfokuskan ke tujuan jangka pendek, lebih bersifat
penyelesaian masalah yang ada (result way of thinking) daripada ke
penggalian berbagai peluang yang mungkin dicapai oleh perusahaan.
Traditional
budget hanya
cocok jika lingkungan organisasi yang dihadapi bersifat stabil dan terkendali. Jika
asumsi lingkungan tersebut tidak terpenuhi maka peranan traditional budget justru
menjadi penghambat laju perusahaan. Proses penyusunan traditional budget memiliki
beberapa macam kekurangan, yang meliputi: (1) berfokus pada tujuan fungsional,
(2) tidak memotivasi manajer untuk melakukan improvement berkelanjutan,
(3) lebih dilandasi oleh problem-solving mindset daripada opportunity
mindset, dan (4) lebih terfokus ke aspek keuangan daripada ke rencana
aktivitas (Brimson dan Antos, 1999: 16).
Fokus
pada tujuan fungsional menyebabkan pemikiran yang sempit. Fungsi didasarkan hanya
atas spesialisasi keahlian personel dalam mengelola bagiannya sehingga
diperlukan berbagai personel dari berbagai keahlian dan disiplin untuk
memecahkan masalah dan peluang bisnis yang kompleks. Manajer tidak termotivasi
untuk melakukan improvement. Improvement hanya dapat dilaksanakan
jika manajer bertanggung jawab terhadap proses secara penuh sehingga mendorong adanya
continuous improvement. Opportunity mindset tidak dapat dicapai
dalam traditional budgeting karena manajer hanya melihat kegiatan dalam
jangka pendek. Ketiadaan informasi tentang aktivitas dan sumber daya yang
dikonsumsi untuk setiap aktivitas menyebabkan manajer memfokuskan ke
tujuan-tujuan yang bersifat jangka pendek, lebih bersifat penyelesaian masalah
(problem solving atau result way of thinking) yang ada
daripada ke penggalian berbagai peluang yang mungkin dicapai oleh
organisasi.
Sistem
penyusunan anggaran di dalam manajemen tradisional lebih didominasi oleh aspek perencanaan
keuangan, bukan aspek perencanaan aktivitas. Anggaran berbasis fungsi hanya ditujukan
untuk mengestimasi berapa target biaya yang harus dikeluarkan oleh fungsi
tertentu selama tahun anggaran untuk mencapai target yang direncanakan dalam periode
tersebut. Manajer fungsi tidak memiliki gambaran menyeluruh tentang keseluruhan
aktivitas yang digunakan oleh organisasi untuk mewujudkan target organisasi..
Perhatian manajer tersebut lalu hanya tertuju ke aspek keuangan yang terjadi di
fungsinya, bukan ke rencana aktivitas yang digunakan untuk menghasilkan output
bagi pelanggan, baik intern maupun ekstern.
Mindset
yang melandasi activity-based budgeting
Activity-based
budgeting dilandisi oleh lima buah mindset.
Customer value mindset. Dalam
penyusunan anggaran, penyusun anggaran (budgetees) yang terdiri dari
manajer sistem, ketua tim, manajer fungsi utama, dan manajer fungsi pendukung,
merencanakan aktivitas selama tahun anggaran dengan dilandasi semangat untuk
memuaskan kebutuhan customer. Fokus perhatian penyusun anggaran harus diletakan
pada pengelolaan aktivitas yang terdiri dari: (1) activity elimination, penghilangan
aktivitas yang tidak menambah nilai bagi customer, (2) activity
reduction, pengurangan aktivitas yang tidak menambah nilai bagi customer,
(3) activity sharing, pemanfaatan aktivitas penambah nilai yang belum
secara optimum digunakan, dan (4) activity selection, pemilihan
aktivitas penambah nilai yang paling efisien.
Continuous improvement mindset.
Dalam penyusunan anggaran, manajer sistem memimpin anggota timnya dalam
melakukan continuous improvement terhadap sistem yang digunakan untuk
melayani customer. Manajer fungsi utama dan manajer fungsi pendukung
memimpin karyawan fungsinya dalam melakukan improvement kualitas sumber
daya manusia dan sumber daya lain (prasarana, sarana, informasi, dan teknologi)
yang dimanfaatkan oleh manajer sistem. Continuous improvement mindset juga
digunakan untuk memerangi rasa puas personel atas kinerja sumber daya manusia dan
kinerja sistem yang sekarang dicapai.
Cross-functional mindset.
Organisasi difokuskan untuk memuaskan kebutuhan customer, melalui
pembentukan tiga sistem permanen, yaitu: sistem inovasi, sistem operasi, dan sistem
layanan purna jual. Setiap sistem dijalankan oleh suatu tim lintas fungsional, yang
anggotanya berasal dari berbagai fungsi utama organisasi. Penyusunan anggaran dilandasi
oleh cross-fungctional mindset. Mindset ini mampu menghasilkan
perencanaan aktivitas yang kompleks, cepat, terintegrasi, dan andal untuk
mengasilkan value bagi customer.
Employee empowerment mindset.
Karyawan berada di garis depan dalam pemberian layanan kepada customer.
Dalam proses penyusunan anggaran diperlukan pengikutsertaan dan pemberian
kesempatan kepada karyawan untuk merencanakan aktivitas yang digunakan untuk
melayani customer dalam proses penyusunan anggaran.
Opportunity mindset.
Hasil ekonomi (economic result) diperoleh organisasi dari pengeksploitasian
peluang, bukan dari pemecahan masalah. Hasil diperoleh organisasi karena produk
dan jasa yang dihasilkan oleh organisasi memiliki value bagi customer.
Customer lah yang memutuskan bahwa suatu hasil mempunyai value baginya.
Unggul (distinct) jika hasil ber value dibandingkan dengan hasil
yang diproduksi oleh organisasi lain, memiliki keunggulan atau leadership (berani
tampil beda). Suatu hasil yang mediocre tidak akan mempunyai value bagi
customer sehingga akan diabaikan oleh pelanggannya.
Activity-based
budgeting berbeda
secara signifikan jika dibandingkan dengan traditional budgeting. Secara
ringkas perbedaan traditional budgeting dan activity-based budgeting dapat
dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 1. Perbedaan traditional budgeting dan activity-based
budgeting
Bidang
Perbedaan
|
Traditional
Budgeting
|
Activity-Based
Budgeting
|
Fokus
|
Fungsi
|
Sistem
|
Penyusun
Anggaran
(Budgetees)
|
Manajer
Fungsional
|
· Manajer
sistem
· Ketua
tim
· Manajer
fungsi utama
· Manajer
fungsi pendukung
|
Tujuan
|
·
Menjalankan bagian dari sistem yang
ada
· Memenuhi
kebutuhan fungsi
· Melaksanakan
pengendalian
· Cost control
|
· Melakukan
improvement terhadap sistem
· Memuaskan
kebutuhan customers
· Meraih
kesempatan
· Cost reduction
|
Sumber:
Brimson dan Antos (1999), dirangkum
Berdasarkan
tabel 1 di atas, perbedaan yang paling besar antara traditional budgeting dan
activity based budgeting adalah banyaknya informasi yang dibutuhkan
untuk membangun anggaran.
One of the
biggest differences between traditional budgeting and activity-based budgeting
is the amount of information needed to develop the budgets. Activity-based
budgeting requires much more information in two form, (1) the information about
the relationship between resource consumption , and (2) there is a need to
understand the relation between secondary output quantities and secondary resource
consumption (Cooper dan Slagmulder-part 1, 2000: 26)
Keunggulan
Activity-Based Budgeting
Dibandingkan
dengan traditional budgeting, activity-based budgeting memiliki
keunggulan sebagai berikut ini (disarikan dari Connally dan Ashworth, 1994;
Lukens, 1995; dan Cooper dan Kaplan, 1998)
1. Orientasi personel diarahkan ke pemenuhan kebutuhan customers,
proses penyusunan anggaran mengarahkan perhatian seluruh personel organisasi ke
pencarian berbagai peluang untuk melakukan improvement (process way
of thinking) terhadap sistem yang digunakan untuk menghasilkan value bagi
customers. Keadaan seperti ini menjanjikan tercapainya efektivitas
kegiatan bisnis perusahaan yang pada gilirannya diharapkan akan menghasilkan financial
return yang memadai bagi perkembangan organisasi melalui loyalitas pelanggan.
2. Fokus penyusunan anggaran pada perencanaan aktivitas,
digunakan untuk menghasilkan value bagi customers. Penyusunan
anggaran akan memperoleh gambaran yang jelas antara penyebab dan akibat. Biaya
timbul sebagai akibat dari adanya aktivitas. Jika personel akan mengurangi
biaya, cara efektif yang dapat ditempuh dengan mengelola penyebab timbulnya
biaya tersebut, yaitu aktivitas. Anggaran merupakan langkah strategik untuk
melaksanakan pengurangan biaya (cost reduction) melalui perencanaan aktivitas
yang mengkonsumsi biaya. Kejelasan hubungan sebab-akibat menyebabkan personel
mempunyai target yang jelas yang harus dicapai selama tahun anggaran. Kejelasan
target, seperti target aktivitas, cost reduction target, dan target
peningkatan penghasilan (revenue enhancement target), akan meningkatkan
kejelasan peran yang disandang oleh personel. Kondisi ini akan membangkitkan
semangat dalam diri personel dalam mewujudkan tujuannya (empowerment).
3. Activity-based budgeting mendorong personel untuk
mengimplementasikan cara berpikir berbasis sistem (system thinking),
keputusan improvement di satu bidang tidak dapat dilepaskan pengaruhnya
terhadap bidang lainnya. Keseluruhan lebih penting daripada sekedar
bagian-bagiannya. Hal ini berbeda dengan dengan traditional budgeting
yang memandang bagian atau fungsi lebih penting daripada keseluruhan.
Activity-based
budgeting menitikberatkan
pada level aktivitas dan variabilitas biaya hubungannya terhadap keputusan yang
menyebabkan munculnya biaya aktivitas tersebut (Marrow dan Connally, 1991).
Secara rinci dapat di jabarkan sebagai berikut di bawah ini:
1. Menitikberatkan pada biaya aktivitas. Biaya dilaporkan
secara akurat sesuai dengan aktivitas-aktivitas yang mendasarinya. Proses ini
akan mengidentifikasikan sumber-sumber keunggulan organisasi dalam mencapai
tujuannya.
2. Alokasi sumber pada level tinggi dan rendah untuk setiap
aktivitas tersebut. Dengan mengetahui level setiap aktivitas, prioritas dapat
dapat dilakukan.
3. Mendorong munculnya new
thinking. Memotivasi timbulnya kreatifitas karena dalam penyusunan semua
aktivitas melibatkan semua bagian melalui suggestion system.
4. Memfasilitasi cost
cutting. Biaya akan dapat dihemat karena dikeluarkan sesuai dengan kebutuhan
dari masing-masing aktivitas.
Proses
Penyusunan Activity-Based Budget
Secara
garis besar proses penyusunan activity-based budget dapat dilihat pada
gambar berikut ini:
(Brimson
dan Fraser, 1991).
Planning
Dari gambar 2, proses penyusunan activity-based budget dilaksanakan
melalui enam tahap berikut:
1. menanamkan
customer value mindset dan continuous improvement mindset ke
dalam diri budgetees;
2. menganalisis
aktivitas;
3. menyusun
rencana kegiatan dan rencana improvement terhadap sistem selama tahun anggaran;
4. melakukan estimasi pendapatan dan atau biaya pelaksanaan kegiatan,
baik yang rutin maupun yang bersifat improvement;
5. mengajukan
usul rancangan anggaran tim dan fungsi ke komite anggaran;
6. melaksanakan
proses review dan pengesahan terhadap rancangan anggaran.
Tuntutan
Perubahan Paradigma di Semua jenis Perusahaan, Termasuk Perusahaan non Komersial
Penerapan
activity-based budgeting di perusahaan-perusahaan mulai dilakukan pada
awal abad 21. Melalui proses penyesuaian yang panjang, tahap demi tahap,
perusahaan yang ingin tetap survive harus mengubah paradigma lama ke
paradigma baru (lihat misalnya, Shein, 1985; Ott, 1989; Kirby dalam Stahl dan
Bounds, 1991, dan Hammer dan Champy, 1993). Persaingan yang semakin ketat di
dunia usaha menuntut perusahaan-perusahaan untuk melakukan perubahan secara mendasar.
Berbeda
dengan perusahaan komersial, perusahaan non komersial seperti rumah sakit, perguruan
tinggi, yayasan-yayasan sosial, dan public services, masih banyak yang
menggunakan mindset lama. Hal ini dikarenakan tuntutan akan perubahan
belum terasa di abad 20. Adanya era reformasi disegala bidang pada abad 21 ini,
tuntutan perubahan terjadi untuk semua organisasi dalam menghadapi perubahan
lingkungan yang amat cepat.